Kisah Orang Jenius Asal Indonesia Di Luar Negeri
Sebelumnya pernah diungkap dalam artikel sebelumnya tentang
adanya orang Indonesia yang jenius dan berkarya di luar negeri. Sungguh
disayangkan memang tapi itulah kenyataanya. Pernahkah anda mendengat tentang
Kisah Orang jenius Asal Indonesia Yang Berprestasi di luar negeri? Misalnya saja
Prof Nelson Tansu, PhD- Pakar Teknologi Nano, Muhammad Arief Budiman seorang
ahli genetika dan juga Prof.Dr.Khoirul Anwar penemu teknologi 4G (baca artikel sebelumnya). Para jenius
asal Indonesia sebenarnya masih banyak lagi dan tersebar di berbagai Negara maju.
Kenapa bisa begitu? Kita simak saja kisah perjalanan hidup dan karir mereka di
bawah ini.
1. Prof Nelson Tansu, PhD- Pakar Teknologi Nano
Nelson Tansu - Pakar teknologi Nano |
Berita dari Medan itu membuat Nelson Tansu lemas. Di
Universitas Lehigh, Pennsylvania, Amerika Serikat, tempatnya bekerja
sehari-hari, Agustus 2 tahun lalu ia meradang. Kabar itu demikian membuatnya
shocked: mama tercintanya, Auw Lie Min, dan papa tersayangnya, Iskandar Tansu,
direktur percetakan PT Mutiara Inti Sari, tewas. Mereka dibunuh oleh perampok
di area perkebunan karet PTPN II Tanjung Morawa.
Peristiwa itu sempat membuatnya "tak percaya"
terhadap Indonesia. Pria kelahiran 20 Oktober 1977 ini adalah seorang jenius.
Ia adalah pakar teknologi nano. Fokusnya adalah bidang eksperimen mengenai
semikonduktor berstruktur nano.
Teknologi nano adalah kunci bagi perkembangan sains dan
rekayasa masa depan. Inovasi-inovasi teknologi Amerika, yang mempengaruhi kehidupan
sehari-hari seluruh orang di dunia, bertopang pada anak anak muda brilian
semacam Nelson. Nelson, misalnya, mampu memberdayakan sinar laser dengan
listrik superhemat. Sementara sinar laser biasanya perlu listrik 100 watt, di
tangannya cuma perlu 1,5 watt.
Penemuan-penemuannya bisa membuat lebih murah banyak hal.
Tak mengherankan bila pada Mei lalu, di usia yang belum 32 tahun, Nelson
diangkat sebagai profesor di Universitas Lehigh. Itu setelah ia memecahkan
rekor menjadi asisten profesor termuda sepanjang sejarah pantai timur di
Amerika. Ia menjadi asisten profesor pada usia 25 tahun, sementara sebelumnya,
Linus Pauling, penerima Nobel Kimia pada 1954, menjadi asisten profesor pada
usia 26 tahun. Mudah bagi anak muda semacam Nelson ini bila ingin menjadi warga
negara Amerika.
Amerika pasti menyambutnya dengan tangan terbuka.
"Apakah tragedi orang tuanya membikin Nelson benci terhadap Indonesia dan
membuatnya ingin beralih kewarganegaraan?" "Tidak. Hati Saya tetap
melekat dengan Indonesia," katanya kepada Tempo. Nelson bercerita, sampai
kini ia getol merekrut mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan riset S-2 dan S-3
di Lehigh. Ia masih memiliki ambisi untuk balik ke Indonesia dan menjadikan
universitas di Indonesia sebagai universitas papan atas di Asia.
Jawaban Nelson mengharukan. Nelson adalah aset kita. Ia
tumbuh cemerlang tanpa perhatian negara sama sekali. Bila Koran Tempo kali ini
menurunkan liputan khusus mengenai orang-orang seperti Nelson, itu karena koran
ini melihat sesungguhnya kita cukup memiliki ilmuwan dan pekerja profesional
yang berprestasi di luar negeri. Diaspora kita bukan hanya tenaga kerja
Indonesia. Kita memiliki sejumlah Nelson lain—di Amerika, Eropa, dan Jepang.
Orang orang yang sebetulnya, bila diperhatikan pemerintah, akan bisa memberikan
sumbangan berarti bagi kemajuan Indonesia.
2. MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN: MERAH-PUTIH DI SAINT LOUIS
Matahari setengah rebah di Medari, Sleman, Yogyakarta. Asar
sudah datang. Zakaria bergegas mencari anaknya, Muhammad Arief Budiman. Dia
bisa berada di mana saja: di sawah, di kebun salak pondoh, atau—jika sedang
beruntung—ia akan ditemukan di sekitar rumah. Zakaria harus menemukannya
sebelum matahari terlalu rebah, agar anaknya tak melewatkan salat asar dan
mengaji di musala.
Muhammad Arief Budiman, pakar ahli genetika |
Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Tiga puluh tahun
kemudian....
Di sebuah ruang kerja di kompleks Orion Genomic, salah satu
perusahaan riset bioteknologi terkemuka di negeri itu, seorang lelaki Jawa
berwajah "dagadu"—sebab senyum tak pernah lepas dari bibirnya—kerap
terlihat sedang salat. Dialah anak Zakaria itu. Pada mulanya bercita-cita
menjadi pilot, lalu ingin jadi dokter karena harus berkacamata sewaktu SMP,
anak pekerja pabrik tekstil GKBI itu sekarang menjadi motor riset utama di
Orion. Jabatannya: Kepala Library Technologies Group. Menurut BusinessWeek, ia
merupakan satu dari enam eksekutif kunci perusahaan genetika itu.
Genetika adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari gen,
pembawa sifat pada makhluk hidup. Peran ilmu ini bakal makin sentral di masa
depan: dalam peperangan melawan penyakit, rehabilitasi lingkungan, hingga
menjawab kebutuhan pangan dunia.
Arief tak hanya terpandang di perusahaannya. Namanya juga
moncer di antara sejawatnya di negara yang menjadi pusat pengembangan ilmu
tersebut: menjadi anggota American Society for Plant Biologists dan—ini lebih bergengsi
baginya karena ia ahli genetika tanaman—American Association for Cancer
Research.
Asosiasi peneliti kanker bukan perkumpulan ilmuwan biasa.
Dokter bertitel PhD pun belum tentu bisa "membeli" kartu anggota
asosiasi ini. Agar seseorang bisa menjadi anggota asosiasi ini, ia harus aktif
meneliti penyakit kanker pada manusia. Ia juga harus membawa surat rekomendasi
dari profesor yang lebih dulu aktif dalam riset itu serta tahu persis riset dan
kontribusi orang itu di bidang kanker. Arief mendapatkan kartu itu karena,
"Meskipun latar belakang saya adalah peneliti genome tanaman, saya banyak
melakukan riset genetika mengenai kanker manusia," ujarnya.
Kita pun seperti melihat sepenggal kecil sejarah Indonesia
yang sedang diputar ulang. Pada akhir 1955, ahli genetika (dulu pemuliaan)
tanaman kelahiran Jawa yang malang-melintang di Eropa dan Amerika, Joe Hin
Tjio, dicatat dengan tinta emas dalam sejarah genetika karena temuannya tentang
genetika manusia. Ia menemukan bahwa kromosom manusia berjumlah 46 buah—bukan
48 seperti keyakinan ahli genetika manusia di masa itu ("The Chromosome
Number of Man. Jurnal Hereditas vol. 42: halaman 1-6, 1956). Tjio—lahir pada
1916, wafat pada 2001—bisa menghitung kromosom itu dengan tepat setelah ia
menyempurnakan teknik pemisahan kromosom manusia pada preparat gelas yang
dikembangkan Dr T.C. Hsu di Texas University, Amerika Serikat.
Demikianlah 2 orang dari Kisah Orang Jenius Asal Indonesia yang berprestasi Di Luar Negeri. Di lain kesempatan akan diulas kisah para jenius Indonesia lainnya. Masih ada Dr.Ir Yogi Erlangga Matematikawan Numerik asal Tasikmalaya, Andrivo Rusydi ahli teknologi nano asal padang dll. Untuk selanjutnya admin akan mengulas satu persatu orang jenius dari Indonesia ini.
kumpulan koleksi artikel Ani Juliani, Member vivaforum