Kisah Unik Bung Karno, Bung Hatta Dan Sutan Sjahrir
Setiap manusia memiliki sifat, dan keunikan tersendiri. Tidak terkecuali Bapak Bangsa kita. Yaitu Bung Karno, Bunga Hatta dan Sutan Sjahrir. Inilah Sisi Unik Bung Karno, Bung Hatta Dan Sutan Sjahrir. Sisi unik dan jenaka Bapak bangsa kita. Di bawah ini ada beberapa penggalan di balik sejarah, kisah dan pengalaman mereka selama masa pendidikan, masa perjuangan kemerdekaan sampai masa kemerdekaan. Banyak pengalaman-pengalaman lucu diantara mereka. Persahabatan mereka bagaikan saudara walaupun akhirnya mereka terpisah karena idealismenya masing-masing. Rasa persaudaraan mereka tetaplah kental sampai akhir hayatnya.
IBUNDA HATTA pernah gusar pada putranya. Hal itu terjadi di
hari pernikahan putra kesayangannya itu. Ada apa gerangan? Bayangkan. Hadiah
pengantin Hatta kepada Rahmi Rachim yang dinikahinya hari itu bukanlah emas,
uang, atau intan permata. Melainkan bukunya yang baru selesai ia rampungkan:
Alam Pikiran Yunani—sebuah ikhtisar pemikiran filsuf-filsuf Yunani kuno semisal
Socrates, Plato, dan lainnya. Kontan saja ibunya tak setuju. Tapi, itulah
Hatta. Di hari bahagianya itu, di vila Mega Mendung, Jawa Barat, 18 November
1945, Hatta tak ingin meninggalkan kecintaannya pada buku. Buku, bukan wanita,
yang jadi cinta pertamanya. Bahkan, saat menjalani pembuangan oleh Belanda,
Hatta membawa koleksi bukunya kemana-mana. Semuanya diangkut dalam 16 peti!
Mohammad Hatta dikenal sebagai sosok yang serius. Kaku
sekaligus disiplin. Tapi justru itu ia dianggap lucu. Saat menjalani pembuangan
di Banda Neira, Hatta rutin dari Senin hingga Sabtu sore, sekitar pukul 4-5,
mengelilingi Pulau Banda melewati kebun pala. Rutenya selalu sama. Saking rutin
dan tepat waktu, Hatta dijadikan jam. Bila Hatta muncul, para pekerja
perkebunan akan berseru, “Wah, sudah jam lima.” Mereka lalu berhenti bekerja.
Kehadiran Hatta dianggap penting, karena di kebun tak ada jam.
Di kala senggang di Banda Neira, Hatta lebih suka terpekur
membaca buku. Beda dengan Sjahrir, yang dibuang bersamanya. Sjahrir yang
flamboyan sukanya mendengar musik klasik macam Beethoven di sebuah gramofon.
Hatta sering merasa terganggu, tapi jarang menegur langsung. Des Alwi, anak
angkat Syahrir, yang biasanya ditegur Hatta karena sering membantu memutarkan.
“Jangan keras-keras. Itu terlalu Barat, seperti Sjahrir yang kebarat-baratan.”
Des Alwi mengadu ke Sjahrir. “Hatta bilang aku
kebarat-baratan? Ah, dia sendiri kalau mimpi pakai bahasa Belanda.”
Berbagai kesibukan dicari Hatta selama di pembuangan. Di
antaranya mengecat perahu. Suatu hari, ia kedapatan mengecat perahu dengan
warna merah-putih oleh pejabat setempat, seorang Belanda. Tidak ada warna biru
satu titikpun. Ini bisa dikategorikan tindakan berbau politis. Tapi Hatta
berdalih, “Tuan kan tahu sendiri, laut sudah berwarna biru.” Si Belanda lantas
ngeloyor pergi.
Lain Hatta, lain Sutan Sjahrir. Saat diasingkan ke Boven
Digul, Papua—daerah pembuangan paling terasing yang menjadi horor setiap
aktivis pergerakan—oleh Belanda Sjahrir konon sempat stres. Perangainya jadi
aneh. Cara jalannya juga aneh. Ia bisa berjalan terus begitu jauh. Kawan-kawan
menjulukinya Kelana Jenaka. Ia kerap pula bertandang ke rumah orang di waktu
tak lazim—ketika kelewat malam, misalnya. Keperluannya pun unik. Ia datang hanya
untuk minta gula atau minyak. Atau mengobrol ngalor-ngidul.
Menulis surat buat istri pertamanya, seorang wanita Belanda
bernama Maria Duchateau, jadi hiburan utama. Ia bisa menulis 4-5 surat sebulan.
Isinya panjang-panjang. Suatu ketika, ia “menyerah” kepada Belanda. Ia meneken
surat pernyataan takkan ikut aktivitas merongrong Belanda lagi.
Tak tahunya itu hanya trik Sjahrir. Dengan meneken surat
itu, Belanda menambah uang sakunya jadi 4,9 gulden, dari semula 2,6 gulden.
Uang itu jdipakai Syahrir untuk menambahi biaya berkirim surat dengan istrinya
di Belanda.
BAPAK-BAPAK BANGSA kita ternyata bisa bertingkah jenaka.
Kisahnya begini. Bintang film idaman Soekarno salah satunya Norman Kerry.
Begitu gandrungnya Bung Karno pada bintang Hollywood tahun 1920-an itu,
sampai-sampai ia meniru penampilan sang pujaan. Soekarno memelihara kumis biar
mirip. Kerry punya kumis tipis melintang yang ujungnya melengkung ke atas. Tapi
kumis Bung Karno tak bisa melengkung, dan Inggit Ganarsih, seorang istrinya,
berkomentar, “Kumismu lebih mirip Charlie Chaplin.” Kontan Soekarno berhenti
meniru pujaannya itu.
Ada kisah lain soal bintang Hollywood dan Soekarno. Suatu
hari di akhir tahun 1950-an, di istana diputar film Tarzan yang dibintangi
Johnny Weismuller, juara renang Olimpiade. “Wah, Johnny Weismuller hebat ya,
Pak,” komentar Guntur usai nonton.
“Iya! Malah lebih hebat dari Frank Merril dan Herman Brix,
tarzan-tarzan tahun ’40-an,” jawab Bung Karno. “Bapak bisa berenang tidak?”
tanya Guntur lagi. “Ooh, itu perkara gampang! Berenang bapak lebih hebat dari
Johnny Weismuller,” sesumbar sang bapak.
Untuk membuktikan kehebatan sang ayah, Guntur mengajaknya
berenang. Soekarno bersedia, tapi saat ditanya waktu dan tempat jawabannya
berbelit. Alasannya macam-macam. Sakit encoklah, airnya kotorlah, atau
tempatnya angker. Hingga akhirnya disepakati, mereka berenang di Tampaksiring,
istana presiden di Bali.
Janji berenang bareng itu baru terwujud setahun kemudian.
Ketika itu, Guntur dan adiknya, Megawati, sudah mencebur ke kolam. Tapi,
Soekarno masih mondar-mandir. Guntur bertanya-tanya.
Sepertinya tak ada cara lagi buat Bung Karno menghindar.
Lalu, dengan teriakan ala Tarzan, ia mencebur ke kolam. Tiba-tiba… “Haaeeep,
pengawal… tolong bapak!” terdengar suara Bung Karno terbatuk-tabuk. Melihat
presiden tenggelam, para pengawal segera menolong. Setelah itu, di pinggir
kolam Soekarno mengaku. “Bapak sebetulnya… ndak bisa berenang.”
Ada lagi kelakuan Bung Karno yang bikin jengkel sekaligus
tertawa. Dalam sebuah perjalanan pulang dari Jepang ke Jakarta di tahun 1945,
Bung Karno, bersama Hatta dan lainnya, terpaksa menumpang pesawat pengebom yang
sudah uzur. Badan pesawat penuh lubang peluru. Seperti selayaknya pesawat
pengebom, tak ada tempat duduk di kabin pesawat. Penumpang terpaksa berdiri.
Suatu saat, Bung Karno ingin buang air kecil. Tapi pesawat itu pun tak punya
kamar kecil. Tak kurang akal, soekarno melangkah ke bagian belakang pesawat
untuk buang hajat. Siapa sangka, angin begitu kencang. Angin itu malah
menerbangkan air seninya ke seluruh ruangan lewat lubang-lubang bekas terjangan
peluru. Keruan saja semua kuyup, termasuk Hatta. Dalam keadaan setengah basah
inilah mereka mendarat.
Bung Karno, Hatta, dan Sjahrir pernah dibuang Belanda
bersama ke Prapat usai aksi militer kedua. Di tempat pengasingan, cerita Hatta,
Bung Karno sering membuat Sjahrir kesal karena setiap kali mandi pasti menyanyi
keras-keras. Saking kesal Sjahrir berteriak begini, “Hou je mond, Bung!—Tutup
mulutmu, Bung!” Bung Karno tersinggung dan marah-marah terus pada Sjahrir.
Cerita unik terjadi pula saat Soekarno memilih ajudan usai
Indonesia baru merdeka. Ya, sebagai presiden baru ia harus punya ajudan. Untuk
keperluan itu ditunjuklah seorang bekas pejuang. Oleh Soekarno, ia diberi
pangkat letnan. Tapi soal ini belum selesai. Seorang penasihatnya nyeletuk,
“Ini tak mungkin. Ratu Belanda, yang memerintah 10 juta manusia, mempunyai
ajudan seorang kolonel. Bagaimana pandangan orang nanti melihat Soekarno,
presiden Republik Indonesia yang memerintah 70 juta orang, punya ajudan
berpangkat letnan.” Soekarno mengangguk, “Betul juga,” katanya. Segeralah
dipanggil ajudannya. “Sudah berapa lama engkau jadi letnan?” tanya sang
presiden. “Satu setengah jam,” jawab si ajudan. “Nah, negara kita ini negara
yang baru lahir dan tumbuhnya cepat. Mulai sore ini, engkau menjadi mayor.”
WANITA TENTU selalu jadi topik menarik. Bagaimana para bapak
bangsa kita bersikap pada wanita? Soekarno tentu semua orang tahu adalah
penakluk wanita. Ia tahu betul memperlakukan wanita dengan santun. Ia pria
romantis. Pada seorang istrinya, Yurike Sanger, Soekarno biasa menulis surat
begini saat tak bisa menemuinya:
Dear darling Yuri,/Today I cannot come./I’m so busy, that I
cannot find time to see you./But I do see you in my heart./Take good care of
yourself.
Sikap Soekarno pada wanita sepertinya pula sudah dimulai
sejak muda. Saat masih kuliah di Bandung, Soekarno berkenalan dengan seorang
indo Belanda bernama Anne yang lebih tua darinya. Ingin mengajak kencan,
Soekarno tak punya uang. Ia lantas minta dikirim uang pada kakaknya. Untuk
menambah biaya kuliah, katanya. Uang dikirim. Soekarno kencan dengan noni itu.
Kencan berlanjut sampai dua kali. Lalu berhenti saat Soekarno kapok. Kok, bisa?
“Lho, dia jadi jelek, ya. Kelihatan tua lagi,” kata Soekarno.
Hatta berbanding terbalik dengan Soekarno. Hatta, kata
Soekano, seorang yang mukanya memerah bila bertemu wanita. Cara terbaik
melukiskan pribadi Hatta, menurut Soekano adalah dengan menceritakan sebuah
kejadian di suatu sore. Suatu saat, Hatta dalam perjalanan ke suatu tempat dan
penumpang lain di mobil itu adalah seorang wanita cantik. Di tempat sepi dan
terasing, ban pecah. Si sopir pergi mencari bantuan. Ketika si sopir kembali,
ia mendapati gadis itu tidur di sudut yang jauh di mobil, dan Hatta mendengkur
di sudut lainnya lagi.
Benarkah demikian? Di mata teman-temannya Hatta tak pernah
menunjukkan ketertarikan pada wanita. Suatu ketika, saat kuliah di Belanda,
kawan-kawan Hatta berniat menjebaknya: mereka mengatur Hatta kencan dengan wanita
Polandia yang “menggetarkan lelaki mana pun”.
Tentu saja si gadis sudah dipesan agar menggoda Hatta dengan
segala cara. Apa yang terjadi? Malam itu mereka cuma makan di kafe. Ketika
ditanya kenapa rayuannya gagal total, si perempuan menjawab putus asa,
“Semuanya tak mempan. Dia ini pendeta, bukan laki-laki.”
Tiga serangkai Bapak Bangsa kita |
TERAKHIR, TAHUKAH Anda apa perintah Soekarno setelah menjadi
presiden pertama RI? Ketika pulang dari Jalan Pegangsaan Timur 56 menuju rumah,
di tengah jalan ia bertemu tukang sate. Pria yang kelak disebut Paduka Yang
Mulia Pemimpin Besar Revolusi dan Panglima Angkatan Perang ini memanggil
penjaja sate yang tak berbaju, dan mengeluarkan perintah pertama, “Sate ayam
lima puluh tusuk.” Setelah itu Soekarno jongkok di dekat selokan, menyantap
sate dengan lahap.
sumber: Ade Irwansyah / dari berbagai sumber
Tulisan ini pertama dimuat di Prime Time, majalah pelanggan
Telkomvision-Yes TV, edisi Agustus 2009.