Misteri Lubang Buaya dan Datuk Banjir di Cipayung Jaktim
Lubang buaya sudah sering kita dengar tapi mungkin banyak
pembaca yang tidak mengetahui mengenai asal usul Lubang buaya dan kenapa
dinamakan lubang buaya. Banyak sekali misteri lubang buaya ini sebelum
dijadikan kuburan para jenderal. Misteri Lubang buaya dan Datuk Banjir di
Cipayung Jaktim ini menarik untuk kita simak. Siapakah Datuk Banjir? Bagaimana
Legenda Lubang buaya ini dimulai. Inilah Kisah Datuk Banjir dan Lubang Buaya di
Cipayung Jakarta Timur.
HUJAN turun deras. Datuk Banjir menutup kepalanya dengan
kain sarung. Begitu juga kedua temannya. Dalam gelap, getek yang mereka naiki
dibiarkan melaju sendiri mengikuti riak air. Di sebuah tempat, getek tiba-tiba
berhenti. Datuk mengambil galah dan membenamkan ujungnya ke dasar air untuk
mendapatkan gerak maju. Dasar air tak tersentuh. Getek tetap diam.
Dicobanya lagi, masih tak berhasil. Datuk mengira, di sana
ada lubang tempat persembunyian buaya.
Ketika air telah surut, Datuk kembali ke sana. Benar saja,
di situ terdapat sebuah lubang. Bentuknya seperti sumur. Ia menamakannya Lubang
Buaya.
Legenda Lubang Buaya berkembang dari mulut ke mulut.
Terakhir, penduduk sekitar mendengarnya dari H. Yusuf, pria asal Cirebon, yang
mengklaim keturunan Datuk Banjir. Mereka yang percaya, mendatangi sumur itu
setiap menjelang musim hujan, sekira bulan Oktober.
Di sana, mereka menyelenggarakan ruwatan. Doa mohon
keselamatan dari ancaman bahaya banjir dipanjatkan. Nama Datuk Banjir yang
diyakini menguasai tempat itu, mereka lafalkan dengan khidmat. Tradisi ruwatan
meluas ke permohonan lain. Kepada sang penguasa sumur, warga juga meminta
limpahan rejeki dan jodoh buat anak-anak gadisnya.
Sumur Lubang Buaya terletak di Desa Lubang Buaya, Kecamatan
Cipayung, Jakarta Timur, sekitar 20 kilometer dari pusat kota. Di sebelah
selatannya terdapat markas besar Tentara Nasional Indonesia Cilangkap, sebelah
utara Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, sebelah timur Pasar Pondok Gede, dan
barat Taman Mini Indonesia Indah.
Tanah di seputaran bibir sumur berwarna merah kecoklatan dan
kering. Bagian terdekat diberi terali besi bercat merah putih. Lantai marmer
putih kilap mengelilingi sumur berdiameter 75 centimeter itu. Sebuah cungkup,
bangunan seperti pendopo, memayunginya. Langit-langit bangunan ini diukir.
Tepat di atas lubang, sebuah cermin bergantung. Lewat cermin
inilah orang bisa menatap dasar sumur yang diberi pelita. Kecuali nyala api
tadi, tak ada apa-apa lagi di sana. Jangankan air, rumput pun tak tumbuh di
sumur berkedalaman 12 meter itu.
Kalau Lubang Buaya ditata, itu bukan dimaksudkan untuk
mengendapkan cerita rakyat tentang Datuk Banjir. Ada cerita lain yang punya
dimensi politik, sekaligus jadi bagian sejarah Indonesia dengan segala
kontraversinya. Di sanalah jasad tujuh perwira militer, enam jenderal dan
seorang letnan, ditemukan dalam keadaan rusak. Peristiwa traumatik ini,
terutama bagi militer Indonesia, dikenal dengan nama G-30-S PKI, kependekkan
dari “Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia”.
Pembunuhan atas para perwira itu jadi antiklimaks ofensif
PKI terhadap seteru-seteru politiknya. Militer memburu mereka yang dianggap
bertanggung jawab. Kekuatan massa PKI habis dalam tempo cepat, menyusul pembantaian
besar-besaran atas mereka di berbagai daerah oleh militer dan massa
pro-militer. Sebagian di antaranya dijebloskan ke dalam penjara dan diasingkan
ke pulau-pulau terpencil.