Skip to main content

Mengenang Adzan Sebelum Adanya Pengeras Suara Di Masa Lalu

Bagi seorang muslim mendengar lantunan adzan adalah hal yang sakral untuk melaksanakan kewajiban Shalat Lima waktu. Bagaimana melaksanakan Adzan di masa lalu? Bagaimana mengumandangkan azan sebelum ada pengeras suara. Silahkan menyimak artikel ini untuk mengenang Adzan sebelum adanya pengeras suara di masa lalu.

Mengenang Adzan Sebelum Adanya  Pengeras Suara Di Masa Lalu

SEORANG lelaki renta berusia 50 tahun bangun dari tidurnya di Masjid al-Muhajirin, Tanah Abang, Jakarta. Dia mulai kesehariannya pada menjelang subuh dengan menimba air sumur. Lalu dia pindahkan air timbaannya ke kolam masjid untuk wudhu jamaah. Ketika subuh tiba, dia mengumandangkan azan dari dalam masjid. Tanpa pengeras suara.

“Saat terang tanah, zuhur dan ashar, Bang Husin azan lagi. Bang Husin bersuara keras. Bariton lah. Dan oktafnya cukup tinggi,” kata Ahmad Mathar Kamal, penulis buku Colek Cemplung: Cerita yang Tercecer Dari Tanah Betawi. Dia mengenal lelaki renta itu sebagai Bang Husin, tukang azan (Muadzin) sohor di tempat kelahirannya, Tanah Abang, pada 1960-an.

Suara murni dan merdu Bang Husin berkumandang selama belasan tahun, menggerakkan hati banyak orang ke masjid. Suaranya mengekal di telinga Ahmad Mathar.

Selain Bang Husin, bagaimanakah seorang yang ditugaskan melakukan azan pengingat shalat sebelum pengeras suara hadir?

Kumandang azan kali pertama berasal dari seorang bekas budak berkulit gelap. Namanya Bilal bin Rabah. Bilal beroleh tugas dari Nabi Muhammad untuk mengumandangkan azan secara lantang, merdu, dan berirama dari dalam sebuah masjid kecil nan sederhana di kota Madinah pada tahun kedua kalender Hijriah (623 Masehi).

Azan menjadi tanda bagi orang muslim agar lekas menuju masjid untuk menegakkan salat. Sebelumnya, orang-orang Muslim mengerjakan salat di masjid tanpa diawali azan.

Kemudian Islam menyebar ke luar dari negeri asalnya yang berpadang pasir. Islam masuk ke negeri jauh dengan topografi perbukitan dan berudara lembab. “Di mana diperlukan suara yang cukup keras agar terdengar sampai ke tempat yang jauh,” tulis Syafwandi dalam Menara Mesjid Kudus dalam Tinjauan Sejarah dan Arsitektur.

Maka arsitek-arsitek muslim mendirikan sebuah bangunan tinggi agar suara azan sampai ke tempat jauh. Bangunan itu bernama menara. Di sinilah Muadzin melaksanakan tugasnya: membesarkan nama Tuhan dan menyeru orang muslim menuju kemenangan.

Tak sembarang orang bisa jadi muazin. Mereka harus mempunyai kriteria tertentu. Antara lain dari kelantangan suara dan kemampuan mengatur irama. Jika berhasil memenuhi kriteria tersebut, mereka bisa masuk dalam Lembaga Muazin. Lembaga ini berdiri pada masa dinasti Islam di Asia Barat dan Afrika, dari abad ke-8 sampai ke-14 M.

Sidi Gazalba dalam Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam mengungkap perhatian khalifah terhadap para muazin. Khalifah menjamin kebutuhan sehari-hari muazin dengan bayaran cukup.

Di Nusantara, negeri berhutan lebat, lembaga serupa juga pernah berdiri di beberapa Kesultanan Islam seperti Aceh dan Mataram Islam. Para muazin terpilih berhak tinggal di sekitar masjid istana atau keraton.

Di kesultanan lain, Lembaga Muazin belum jelas benar ada atau tidaknya. Yang terang ialah para muazin di Kudus dan Banten melantangkan azannya dari menara pada abad ke-17 M.

Menara masjid pertama terletak di Masjid Kudus, Jawa Tengah. Kemudian menara masjid kedua berdiri di masjid milik Kesultanan Banten.

Tak banyak masjid bermenara di Nusantara. “Karena gaung azan terdengar efektif dari bangunan itu bila berada di daerah tandus dan tidak ditanami, bukan di daerah berhutan lebat,” tulis Kees van Dijk dalam “Perubahan Kontur Masjid”, termuat pada Masa Lalu dalam Masa Kini Arsitektur Indonesia.

Kees melanjutkan bahwa biasanya para muazin hanya melantangkan azan dari menara saat tiba waktu salat Jumat atau pada waktu istimewa lainnya.

Lama-kelamaan azan lazim berkumandang dari menara saban masuk waktu salat. Para muazin juga mulai menggali irama atau cengkok lokalnya masing-masing supaya lebih menyentuh para pendengar.

Deliar Noer, ilmuan politik terkemuka Indonesia, mencatat keberagaman cengkok azan di alam Sumatra pada masa kecilnya, 1930-an. “Di Sumatra Timur, azan dikumandangkan dengan merdu mengikuti melodi yang kian lama kian kita kenal sekarang di seluruh Indonesia,” tulis Deliar dalam Aku Bagian Ummat, Aku Bagian Bangsa.

Sementara di tanah Minang, Deliar menilai suara muazin lebih bernada datar. “Tetapi mendayu beriba-iba bagai mengimbau dari kejauhan, seperti yang banyak diperdengarkan orang bersalung (bersuling, red.) dan berkaba (mendongeng, red.).”
Baca Juga: Kisah Masjid Pertama Yang Didirikan Di Muka Bumi Oleh Rasulullah
Begitulah tugas pelantun adzan atau biasa dipangil dengan istilah muadzin untuk memberitahukan waktunya shalat sebelum ada pengeras suara. Kekal di telinga umat muslim dan menjadi ladang amal dan pahala.

Penutup
Perlu diingatkan bahwa Adzan bukanlah lantunan suara untuk memanggil Tuhan seperti yang dipahami orang non muslim. Mereka berpikir karena disebutkan di awal Allahu Akbar maka memanngil Tuhan. Adzan adalah pemberitahuan datangnya waktu shalat dan biasa dikumandangan lima kali dalam sehari. Adzan adalah pengingat waktu shalat bagi umat muslim. Dan selayaknya bagi orang Non Muslim bila tidak paham apa arti adzan dan maksud / tujuan dari adzan bertanyalah pada orang muslim dan tidak menterjemahkannya sendiri sebagai “Ritual Memanggil Tuhannya”.
Semoga tulisan ini bisa bermanfaat dan menambah wawasan sahabat pembaca.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui.